Hamdan bin Asy’ats mula-mula membawa ajaran kebatinan ini Kufah, untuk kemudian menyebarkannya hingga ke Syam, Irak, Yaman dan Hijaz. Khalifah Ahmad bin Thalhab Al-Mu’thadid berusaha menghancurkan sekte sesat ini, hingga mereka hancur di Kufah dan Syam. Namun, salah seorang jebolan sekte tersebut, Abu Said Al-Husain Al-Janabi, berhasil menyerukan ajarannya di Bahrain pada tahun 287 H dan anaknya, Abu Thahir Sulaiman bin Abu Said Al-Husain Al-janabi, membangun kota Ihsa sebagai basis pemerintahan dan pertahanan.
Menurut Ibnu katsir, pemimpin sekte ini, Abu Muhammad ‘Ubaidillah bin Maimun Al-Qadah mulanya adalah seorang Yahudi yang berprofesi sebagai tukang emas. Dia kemudian masuk Islam dan mengklaim sebagai ahlul bait. Banyak orang-orang suku Barbar dari Afrika yang kemudian percaya padanya sehingga dia berhasil menguasai wilayah-wilayah tersebut.
Siapapun sebetulnya mereka, yang jelas Abu Thahir Sulaiman bin Abu Said Al-Husain AL-Janabi menyerang Masjidil Haram. Penyerangan dilakukan dengan senyap. Sekelompok orang dari mereka bergabung bersama jamaah haji irak dipimpin oleh Manshur Ad-Dailami. Bersama-sama, rombongan jamaah haji itu masuk ke dalam Masjidil Haram, masing-masing khusyuk melaksanakan ibadah.
Ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika tentara sekte Qaramithah mengeluarkan pedang dan melakukan pembantaian. Para jamaah lari tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri. Sebagian pasrah dengan berpegang kelambu Kakbah. Satu demi satu jamaah yang panik itu jatuh terkena sabetan pedang.
Abu Thahir lalu berdiri di pintu Kakbah. Dengan dikawal tentaranya, dia berkata dengan angkuh, “Aku adalah Allah. Aku bersama Allah. Akulah yang menciptakan makhluk-makhluk dan aku pula yang membinasakan mereka.”
Pembantaian terus berlangsung. Tubuh-tubuh menjadi mayat bergelimpangan memenuhi Masjidil Haram. Darah mengotori lantai tempat suci itu. “Kuburkan mereka di sumur zam-zam!” perintah sang kepala pemberontak.
Sumur pun dibongkar dan dirusak. Mayat-mayat jamaah diseret dan dilemparkan ke dalamnya. “Copot pintu Kakbah, lepaskan juga kiswahnya !.”
Pintu Kakbah didobrak dan kiswahnya dilepaskan. Ketika diserahkan kepada Abu Thahir Sulaiman, kiswah itu dirobek-robek. “Kau, naiklah ke atas Kakbah dan copotlah talangnya !.”
Orang itu lalu naik ke atas Kakbah, namun ketika hendak mencopot talang, dia terjatuh dan mati saat itu juga. Semua orang terkejut. Mereka terdiam. Namun, kesombongan telah membutakan mata hati kepala pemberontak itu. Dia berteriak, “Bongkar Hajar Aswad !”
Kini pasukan itu bergerak ke sudut dekat pintu, berusaha mencongkel batu tersebut. Begitu berhasil dicongkel, batu itu terjatuh dan pecah menjadi 8 bagian. Mereka mengumpulkan kedelapan pecahan batu itu dan bersiap membawanya keluar Makkah. Sebelum meninggalkan masjid suci itu. Abu Thahir Sulaiman masih sempat berteriak, “Mana burung-burung Ababil ? Mana bebatuan dari neraka Sijjil ?”
Ketika mereka hendak meninggalkan Mekkah, Amir Mekkah dan keluarganya datang menghadang, “Kembalikan kepada kami Hajar Aswad dan seluruh kekayaanku akan kuserahkan padamu”
“Aku membawanya berdasarkan perintah” jawab Abu Thahir Sulaiman, “maka aku akan mengembalikannya hanya jika ada perintah.” Amir Mekkah dan keluarganya lalu dibantai tanpa ampun.
Pecahan-pecahan Hajar Aswad dinaikkan ke punuk beberapa unta, yang setiap dari mereka berjalan tertatih-tatih akibat kepayahan. Punuknya konon berdarah dan mengeluarkan nanah. Abu Thahir beserta rombongannya pergi menuju Kota Ihsa.
Setibanya di Ihsa, dia menantang setiap khalifah negeri Islam untuk datang mengambil Hajar Aswad. Namun, saat itu negeri-negeri Islam terpecah dan nyaris tidak memiliki pasukan yang tangguh.
Ketegangan penyebuan dan pencurian Hajar Aswad yang menelan tak kurang dari 30.000 jamaah dan penduduk Mekkah tersebut. Selama 22 tahun, Hajar Aswad berada di kota Ihsa. Sebagian sejarawan menyebut di kota Hijir, Arabia Barat.
Terdapat beberapa pendapat mengenai skenario kembalinya Hajar Aswad ke kakbah. Menurut Ahmad Al-Usairy, Hajar Aswad dikembalikan setelah ada permintaan raja Fathimiyyah Mesir kepada pemimpin sekte Qaramithah.
Ada yang menyebutkan Hajar Aswad dikembalikan setelah khalifah Al-Fadhl bin Ja’far yang bergelar Al-Muthi’illah menebusnya dengan uang sebesar 3.000 dinar.
Pendapat lainnya menyebutkan, Hajar Aswad dikembalikan atas kesadaran Abu Thahir Sulaiman sendiri. Alkisah, Abu Thahir membawa pecahan Hajar Aswad dan menggantungkannya di tiang-tiang Masjid Kufah agar semua orang melihatnya. Kemudian, dia menulis sebuah ketetapan, “Kami dahulu mengambilnya atas sebuah perintah dan kini mengembalikannya juga atas sebuah perintah agar manasik haji umat menjadi lancar.”
Hajar Aswad dikirimkan kembali ke Mekkah di atas seekor unta, yang berjalan dengan sigap tanpa kepayahan. Rombongan pembawa Hajar Aswad itu tiba di Mekkah bulan Dzulqa’dah tahun 339 H.
Abu Thahir diceritakan menderita lepra hingga meninggal, ada pula yang menyebut sekte itu hancur di tangan Abdullah Al-Uyuni.
Hajar Aswad yang pecah menjadi 8 bagian itu kemudian direkatkan pada sebuah batu besar, diikat dengan lingkaran perak, dan ditaruh kembali di tempatnya semula di salah satu sudut Kakbah.
sumber http://forum.viva.co.id/showthread.php?t=1921803