Pada usia belia, 21 tahun, Sarah telah menerbangkan pesawat penumpang jenis Boeing. Mencuri start sebagai pilot termuda Garuda Indonesia, Sarah hingga saat ini sudah mengantongi 2.200 jam terbang dan sedang menapaki tahapan baru dalam kariernya.
Menjumpai Sarah seperti bukan berhadapan dengan seorang pilot. Tubuhnya mungil dengan senyum yang terus tersungging, sering kali membuat orang ”tertipu”. Meski sudah memakai seragam pilot pun, penumpang selalu salah kira dan menduganya sebagai pramugari.
Kini, Sarah kembali sekolah untuk persiapan pindah pesawat dari tipe pesawat kecil, Boeing, ke tipe yang lebih mutakhir, Airbus. Setelah tahapan dua bulan sekolah ini dilalui, Sarah akan menerbangkan Airbus ke rute menuju Jepang, Korea, Australia, China, Belanda, Uni Emirat Arab, dan Jeddah.
”Pesawat Airbus canggih banget. Sampai sekarang saya masih wow! Untuk utak-atiknya harus belajar ekstra, sama kayak nerbangin komputer. Canggih banget,” kata Sarah dengan mata berbinar.
Di sela kesibukan mempersiapkan diri menjadi pilot Airbus itulah, Sarah menyediakan waktu untuk berbincang di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan. Saking lelahnya belajar, Sarah masih tertidur di sofa pojok ruang tamu rumahnya ketika ibu dan adik-adiknya sudah bersiap jalan-jalan di akhir pekan.
Matanya langsung berbinar ketika diajak berbicara soal profesinya. ”Yang membuat bersemangat, pesawatnya canggih dan kita yang mengoperasikan,” tambahnya.
Namun, Sarah melanjutkan, tanggung jawab kepada penumpang ketika menerbangkan Boeing ataupun Airbus tetaplah sama. Selama ini, Sarah menerbangkan pesawat Boeing dengan rute domestik dan rute pendek ke luar negeri, seperti ke Singapura, Bangkok, dan Taiwan.
Semudah menyetir mobil
Bagi Sarah, menerbangkan pesawat itu semudah menyetir mobil manual. Hanya saja, panel atau tombolnya lebih banyak. ”Peran kita terutama ketika take off dan landing. Selebihnya autopilot dan diarahkan oleh air traffic controllers. Remnya, gasnya, sama kayak bawa mobil,” kata Sarah.
Kendaraan apa pun di tangan Sarah memang terasa sangat mudah dikemudikan. Jika punya waktu libur dua hingga tiga hari, Sarah sudah melesat pergi untuk menyelam. Seusai menyelam, ia akan mengambil alih kemudi speed boat.
Sarah tak pernah menganggap tugasnya berat. Ketika para pramugari masih melayani penumpang sebelum tinggal landas, Sarah biasanya sudah merampungkan semua keperluan untuk terbang. Sambil menunggu penumpang siap, Sarah mengisi waktu luangnya dengan membaca di kokpit.
Setelah pesawat mengangkasa, Sarah sibuk menjalin komunikasi dengan air traffic controllers dan berusaha mencari jalan teraman ketika terjadi cuaca buruk. Jika seluruh tugas telah dijalani, ia biasa menikmati perjalanan dengan melihat bintang, menatap daratan, dan merenungi hidup.
”Hidup itu kayak main film. Hari ini enggak mungkin sama dengan hari sebelumnya. Harus ada totalitas. Tuhan menciptakan manusia itu mau jadi apa. Masih belajar menuju ke sana,” ujar Sarah.
Jika sudah tiba di suatu kota dan beristirahat minimal 15 jam di hotel, Sarah akan mengisi waktu dengan me film, berenang, dan tidur. Hanya sesekali ia menyempatkan diri melihat suasana kota sambil mencari makan.
Ia me film apa saja, termasuk film India dan film komedi Indonesia. Baginya, film menjadi senjata ampuh untuk mengobati rasa galau. Ketika film Habibie dan Ainun diputar di bioskop, Sarah buru-buru menya. Soalnya ia mengidolakan Habibie dan menggenggam impian untuk menciptakan pesawat buatannya sendiri. ”Pilot itu cuma operator pesawat. Masih keren yang nyiptain pesawatnya,” tambah Sarah.
Dibawa jatuh
Dalam hidup, Sarah selalu tertantang meraih sesuatu yang lebih baik daripada yang disediakan. Ketika hendak mendaftar untuk Jurusan Teknik Pesawat Udara di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, ia tiba-tiba terpikat pada pilihan lain, yaitu Jurusan Penerbang.
Ia lalu menjalani rangkaian tes, termasuk tes bakat, yang membawanya terbang untuk pertama kali. Pada ketinggian 3.000 kaki, instruktur tiba-tiba mematikan mesin dan sesaat membiarkan pesawat latih itu jatuh bebas. ”Baru nerbangin pesawat pertama kali sudah dibawa jatuh,” ujarnya.
Sarah lolos ujian mental itu dan kemudian menjalani pendidikan gratis sebagai calon pilot selama dua tahun dua bulan. Ia menjadi satu-satunya siswa perempuan. Sarah berjuang keras agar kekuatannya ketika berlari atau di saat push up bisa menyamai rekan-rekannya yang cowok.
Begitu lulus pada Februari 2009, ia menjadi pilot Garuda dan mulai terbang pada 2010. Ketika ditanya rute yang ditempuh saat pertama kali membawa pesawat berpenumpang, Sarah tertawa dan menjawab, ”Saya lupa.”
Satu hal yang tak pernah dilupakannya adalah ketika kapten pesawat pura-pura meninggal dunia dan untuk pertama kalinya ia menerbangkan pesawat tanpa panduan. ”Rasanya benar-benar harus bertanggung jawab sama penumpang. Ternyata saya bisa menerbangkan pesawat sendiri,” tambahnya.
Sejak kecil, Sarah sudah akrab dengan dunia penerbangan. Ia sering kali diajak ke tempat kerja ayahnya yang bertugas di bagian teknik penerbangan. Sempat lima tahun mengikuti ayahnya tinggal di Biak, Sarah berharap suatu saat bisa membuka sekolah untuk anak-anak kurang mampu di sana. Agar suatu hari kelak, mereka bisa terbang juga bersama Sarah untuk menggapai mimpi....
Di antara ayam jago
Ketika Sarah masih di dalam kandungan, sang ibu sudah terbiasa berhadapan dengan binatang liar, seperti biawak, di pedalaman Biak, Papua. Sarah lantas bertumbuh menjadi gadis kecil yang pemberani, periang, dan tomboi.
Jika ayahnya sedang memperbaiki mesin, Sarah kecil ikut-ikutan sibuk dengan membalikkan sepeda mininya. Sifat tomboi itu ternyata berlanjut ketika ia menjadi satu-satunya siswa perempuan di STPI. Di STPI, Sarah harus tampil seperti ayam jago, julukan bagi anak laki-laki siswa STPI. Rekan-rekannya akan meledek setiap kali dia ingin menangis. ”Lu cengeng banget, sih, baru kayak gitu,” ujar Sarah menirukan ucapan rekan-rekannya kala itu.
Ketika rekan-rekannya mengagumi kecantikan pramugari saat tes kesehatan bareng, Sarah hanya berujar, ”Iya cantik-cantiklah, enggak ada yang dihukum!”
Seorang sahabatnya lantas menimpali, ”Tenang Sarah, kamu tetap paling cantik di ketinggian one up to three thousand feet ha-ha-ha....”
Ketinggian jelajah terbang Sarah kala itu memang di antara 1.000-3.000 kaki. Kebalikannya, setelah Sarah menjadi pilot, rekan-rekan sesama lulusan STPI menuntutnya untuk tampil lebih ”cewek”. Mereka sampai membelikannya gaun hingga sepatu hak tinggi.
Pramugari di Garuda Indonesia juga selalu mendorong Sarah agar berdandan. Dari awalnya bergaya kasual dengan jins dan kaus, Sarah mulai merias wajah. ”Pramugari bilang jangan terlihat kucel dong. Make up dikit karena bawa nama Garuda dan bangsa,” kata Sarah.
Bekerja di lingkungan yang didominasi pria, Sarah bertekad akan menjadi istri dan ibu yang baik. ”Saya lebih cocok punya pacar yang enggak sering ketemu. Sebulan sekali ketemu itu lebih bagus,” tambah Sarah sambil tertawa.
Ia pun sudah menyiapkan siasat perawatan anak jika telah menikah dan harus terbang jauh. Sarah berencana mengajak anaknya ikut terbang dengan dijaga sang nenek.
”Jangan sampai anakku tahunya ibunya itu mamaku. Airbus terbang paling lama sembilan hari, bayi bisa diajak. Sisanya, bisa pulang setiap tiga atau empat hari sekali,” ujar Sarah.